Senin, 02 Juli 2012

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMIKIRAN GENDER
  1. PENDAHULUAN

Maraknya pemberitaan dan isu-isu masalah diskriminasi dan konstruksi perempuan di berbagai tempat membuat kalangan perempuan bangkit dan tergerak untuk bisa setara antara perempuan dan laki-laki. Adanya budaya patriarkhi yang selalu membelenggu kaum hawa menjadi histori perjalanan lahirnya gender. Dominasi laki-laki lebih terangkat daripada perempuan yang dianggap sebagai seorang yang lemah dan hanya wajib mengurus rumah (area domestik).
Selain itu laki-laki juga lebih bebas dalam ruang publik. Memang tidak dipungkiri bahwa mekanisme struktural, historis dan ideologis melahirkan subordinasi dalam masyarakat. Ketidakadilan itu menjadi kekuatan lahirnya gerakan gender dengan harapan perempuan tidak hanya aktif di rumah saja. perempuan bisa aktif dalam ruang publik seperti halnya laki-laki. Ketidakadilan itu memicu lahirnya gerakan gender yaitu adanya feminisme dengan keanekaragaan masing-masing. Seperti feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis.

  1. PERMASALAHAN
  1. Sejarah Perkembangan Gender
  2. Gerakan dan Pemikiran Gender

  1. PEMBAHASAN
  1. Sejarah Perkembangan Gender
Kami tidak meminta untuk diistimewakan atau berusaha merebut kekuasaan tertentu. Yang sebenarnya kami inginkan adalah sederhana, bahwa, mereka mengangkat kaki mereka dari tubuh kami dan membiarkan kami berdiri tegap sama seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan (Sarah Grimke, 1837).
Awal gerakan perempuan di dunia tercatat di tahun 1800-an. Ketika itu para perempuan menganggap ketertinggalan mereka disebabkan oleh kebanyakan perempuan masih buta huruf, miskin dan tidak memiliki keahlian. Karenanya gerakan perempuan awal ini lebih mengedepankan perubahan sistem sosial dimana perempuan diperbolehkan ikut memilih dalam pemilu. Tokoh-tokoh perempuan ketika itu antara lain Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton dan Marry Wollstonecraft. Bertahun-tahun mereka berjuang, turun jalan dan 200 aktivis perempuan sempat ditahan, ketika itu.
Seratus tahun kemudian, perempuan-perempuan kelas menengah abad industrialisasi mulai menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat. Mereka mulai keluar rumah dan mengamati banyaknya ketimpangan sosial dengan korban para perempuan. Pada saat itu benbih-benih feminsime mulai muncul, meski dibutuhkan seratus tahun lagi untuk menghadirkan seorang feminis yang dapat menulis secara teorityis tentang persoalan perempuan. Adalah Simone de Beauvoir, seorang filsuf Perancis yang menghasilkan karya pertama berjudul The Second Sex. Dua puluh tahun setelah kemunculan buku itu, pergerakan perempuan barat mengalami kemajuan yang pesat.1
Persoalan ketidakadilan seperti upah yang tidak adil, cuti haid, aborsi hingga kekerasan mulai didiskusikan secara terbuka. Pergerakan perempuan baik di tahun 1800-an maupun 1970-an telah membawa dampak luar biasa dalam kehidupan sehari-hari perempuan. Tetapi bukan berarti perjuangan perempuan berhenti sampai di situ. Wacana-wacana baru terus bermunculan hingga kini. Perjuangan perempuan adalah perjuangan tersulit dan terlama, berbeda dengan perjuangan kemerdekaan atau rasial. Musuh perempuan seringkali tidak berbentuk dan bersembunyi dalam kamar-kamar pribadi. Karenya perjuangan kesetraan perempuan tetap akan bergulir sampai kami berdiri tegap seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan.2
  • Sejarah Perkembangan Perempuan Pergerakan Indonesia
Dalam sejarah pergerakan perempuan Indonesia tertulis bahwa 22-26 Desember 1926 di Yogyakarta, dilaksanakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama, setelah terjadi pertemuan atau kongres yang lain, seperti pemufakatan Perhimpunan Perempuan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI). Kemudian peristiwa tersebut dikenal sebagai Hari Ibu.
Kongres Perempuan Pertama adalah salah satu momentum dari proses perjuangan perempuan Indonesia. Sekalipun sebelumnya, buku sejarah menyebutkan bahwa awal gerakan perempuan adalah perjuangan Kartini. Tentu saja, hal tersebut merupakan pembatasan sendiri, karena jauh sebelum Kartini bisa ditemukan beberapa nama perempuan yang melakukan pergerakan bagi bangsa dan lingkungannya. Di kalangan elite, dikenal nama-naman seperti Tjoet Nya’ Dhien, Cut Meutia, Roro Gusik (istri Untung Suropati), Christina Martha Tiahahu, Emmy Saela, dan masih banyak lainnya.
Pada tahun 1905 Dewi Sartika mendirikan sekolah “ Keutamaan Istri” di Bandung. Tahun 1912 Kartini mendirikan sekolah perempuan di Semarang. Tahun 1915, Rahma El Junusia dan adiknya Za’unnuddin Labai El Junusia mendirika sekolah agama di Minangkabau. Pada masa itu juga munculah organisasi tentang perempuan. Pada waktu itu muncul Putri Mardika, Kautaman Istri, Pawiyatan Wanito, Wanito Hado, Wanito Susilo, dan sebagainya. Organisasi ini menekankan peningkatan perempuan, serta kehidupan berkeluarga. 3
Pada masa itu rupanya semangat kebangsaan dan kemuakan dijajah telah membangkitkan semangat kaum muda Indonesia untuk memulai sesuatu. Pada masa itu misalnya, berdirilah organisasi non pemerintah yaitu Boedi Oetomo pada 1908. Demikian pula di kalangan perempuan, banyak organisasi muncul karena semangat perempuan sebagai pribadi, bukan karena sebagai istri dari suami atau anak dari bapak yang merupakan tokoh masyarakat.
Pada masa itu muncul Putri Mardika, Kautaman Istri, Pawiyatan Wanito, Wanito Hado, Wanito Susilo, dan sebagainya. Organisasi ini menekankan peningkatan pendidikan perempuan, serta kehidupan berkeluarga. Pad atahun 1913, muncul perjuangan pperempuan melaluai media massa, koran bahasa jawa, Wanito Sworo yang dipimpin Siti Soendari.4
  1. Aliran-Aliran Gerakan Gender
Gerakan perempuan tidak pernah mengalami keseragaman di muka bumi ini. Antara satu negara dan satu budaya dengan negara dan budaya lain, memiliki pola yang kadang berbeda, bahkan ambivalen. Feminisme sebagai sebuah isme dalam perjuangan gerakan perempuan juga mengalami interpretasi dan penekanan yang berbeda di beberapa tempat.
Ide atau gagasan para feminis yang berbeda di tiap negara ini misalnya tampak pada
para feminis Itali yang justru memutuskan diri untuk menjadi oposan dari pendefinisian kata feminsime yang berkembang di barat pada umumnya. Mereka tidak terlalu setuju dengan konsep yang mengatakan bahwa dengan membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan di ranah publik, akan berdampak timbulnya kesetaraan. Para feminis Itali lebih banyak menyupayakan pelayanan-pelayanan sosialdan hak-hak perempuan sebagai ibu, istri dan pekerja. Mereka memiliki UDI (Unione DonneItaliane) yang setara dan sebesar NOW (National Organization for Women) di Amerika Serikat. Pola penekanan perjuangan feminis Itali ini mengingatkan kita pada gaya perjuangan perempuan di banom-banom NU di Indonesia.
Hal yang sedikit berbeda terjadi di Perancis. Umumnya feminis di sana menolak dijuluki sebagai feminis. Para perempuan yang tergabung dalam Mouvment de liberation des femmes ini lebih berbasis pada psikoanalisa dan kritik sosial. Di Inggris pun tokoh-tokoh seperti Juliat Mitcell dan Ann Oakley termasuk menentang klaim-klaim biologis yang dilontarkan para feminis radikal dan liberal yang menjadi tren di tahun 60-an. Bagi mereka, yang bisa menjadi pemersatu kaum perempuan adalah konstruksi sosial bukan semata kodrat biologinya.
Di dunia Arab, istilah feminisme dan feminis tertolak lebih karena faktor image barat yang melekat pada istilah tersebut. Pejuang feminis di sana menyiasati masalah ini dengan menggunakan istilah yang lebih Arab atau Islam seperti Nisa’i atau Nisaism. Meski kemudian definisi feminisme banyak mengalami pergeseran, namun rata-rata feminis tetap melihat bahwa setiap konsep, entah itu dari kubu liberal, radikal maupun sosialis tetap beraliansi secara subordinat terhadap ideologi politik tertentu.
Dan konflik yang terjadi di antara feminis itu sendiri sering disebabkan diksi politik konvensional melawan yang moderat. Misalnya konsep otonomi dari kubu feminis radikal berkaitan dengan gerakan antikolonial, sementara kubu feminis liberal menekankan pada pentingnya memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan dalam kerangka bermasyarakat dan berpolitik yang plural. Inilah mengapa feminis selalu bercampur dengan tradisi politik yang dominan di suatu masa.
Hingga bila dipilah-pilah berdasarkan tradisi politik yang berkembang, maka aliran-aliran dalam femninisme dapat dibedakan ke dalam kubu-kubu sebagai berikut.5


  1. Feminisme radikal
Feminisme radikal ini muncul sebagai reaksi atas kultur sex-ism atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 60-an, khususnya sangat penting dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi. Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biolagis. Bagi gerakan feminisme radikal, revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. Dengan kata lain, bagi gerakan feminisme radikal, revolusi dan perlawanan atas penindasan perempuan bisa dalam bentuk yang sangat personal; urusan subjektif individual perempuan.6
Anggapan ini justru sangat bertentangan dengan feminisme Marxis yang melihat penindasan perempuan sebagai realitas objektif. Sungguhpun demikian sumbangn feminisme radikal ini sangatlah besar pada gerakan perempuan secara umum, terutama karena paham dan analisis mereka bahwa personal is political memberikan peluang politik bagi perempuan. Namun, lagi-lagi golongan ini mengambil bentuk mode perjuangan maskulinitas, yakni persaingan untuk mengatasi kaum laik-laki.
2. Feminisme liberal
Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang ada pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu. Namun, pada saat yang sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.
Feminisme liberal tidak pernah mempertanyakan diskriminasi akibat ideologi patriarki, sebagaimana dipersoalkan oleh feminisme radikal maupun analisis satau struktur kelas politik, ekonomi, serta gender sebagaimana dipermasalahkan oleh gerakan feminis sosialis. Meskipun gagasan feminisme ini telah muncul pada abad-19an dan awal abad-20, namun baru pada tahun 60-an gerakan ini kelihatan menonjol dan akhirnya mendominasi pemikiran tentang perempuan di seluruh dunia, khususnya dunia ketiga saat ini.
Salah satu pengaruh feminisme liberal ini terekspresi dalam teori modernisasi dan progam global yang dikenal sebagai Wo,en In Development. Sejak awal, bagi mereka persoalan perempuan dianggap sebagai masalah (anomaly) bagi perekonomian modern atau partisipasi politik maupun pembangunan. Menurut mereka, keterbelakangan kaum perempuan selain akibat sikap mereka yang irrasioanal yang sumbernya karena berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional, juga karena kaum perempuan tidak berpartisipasi dalam pembangunan.7
Keduanya feminisme ini lebih mengedepankan klaim-klaim biologis, dan dikenal sebagai kelompok feminis-ideologis. Adapun tokoh aliran ini antara lain Margaret Fuller, Harriet Martineuw, Anglina Grimke dan Susan Anthony8.
  1. Feminisme Marxis
Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminisme radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Bagi penganut feminisme Marxis, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural.
Oleh karena itu, mereka tidak menganggap patriarki atau kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya merupakan penyebab masalahnya. Dengan begitu penyelesainnya pun harus bersifat kultural, yakni hanya dengan melakukan perubahan struktur kelas dan pemutusan hubungan dangan sistem kapiltalisme internasional. Perubahan struktur kelas itulah yang mereka sebut sebagai proses revolusi. Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan di Rusia dengan menampilkan tokohnya seperti Clara Zetkin dan Rosa Luxemburg9.
  1. Feminisme Sosial
Penganut aliran ini, menurut Jaggar (1983), melakukan sintisesis antara metode historis materialis Mark dan Eagels dengan gagasan personal is political dari kaum feminisme radikal. Feminisme sosial mulai dikenal tahun 1970-an. Aliran ini memiliki ketegangan antara kebutuhan kesadaran feminisme disatu pihak dan kebutuhan menjaga integritas materialisme Marxisme di pihak lain, sehingga analisis partiarki perlu ditambahkan dalam analisis mode of production.
Feminisme sosialisis juga menganggap bahwa penindasan perempuan bisa melahirkan kesadaran revolusi, tapi bukan revolusi model perempuan sebagai jenis kelamin (women as sex) yang diproklamirkan oleh feminisme radikal.10
Feminisme Sosialis atau feminisme Marxis pada dasarnya sama, yaitu membicarakan tentang : perempuan lebih dipandang dari sudut teori kelas, sebagai kelas masyarakat yang tertindas.11

  1. KESIMPULAN
Setiap perempuan pasti menginkan bahwa dirinya diperlakukan sama dengan laki-laki. Dimana akan terjadisebuah keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Karena adanya sebuah ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum perempuan, menyebabkan para aktifis yang bergerak pada bidang perempuan menjadi gerah dan melakukan suatu hal yang menyatakan bahwa mereka ingin agar tidak dipandang sebelah mata oleh kaum laki-laki maupun duni.
Maka lahirlah aliran-aliran feminisme, diantaranya adalah feminisme Radikal, feminisme Liberal, feminisme Marxis, feminisme Sosial. yang mana dari keempat aliran tersebut mempunyai ciri dan pandangn tersendiri yang mereka anut.


  1. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Tentunya masih banyak kekurangan. Kritik dan saran yang membangun sangatlah saya harapkan demi perbaikan ke depan. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Amin.




DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour. Analisis Gender&Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.
Murniati, A. Nunuk P. Getar Gender, Magelang: Indonesia Tera. 2004.

3 A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender, Magelang: Indonesia Tera. 2004. Hal: 14-16

4 Ibid A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender. Hal: 16

6 Mansour Fakih, Analisis Gender&Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Hal: 84-86

7 Ibid, Mansour Fakih, Analisis Gender&Transformasi Sosial, hal: 81-83

8 Nassaruddin Umar. Argumen Kesetaraan Gender. Paramadina : Jakarta. 1999. Hal. 65

9 Ibid. Hal 64

10 Ibid, Mansour Fakih, Analisis Gender&Transformasi Sosial, hal: 86-89


2 komentar:

  1. Merkur - Safety Razors, Tools, and Tools - deccasino
    Merkur - Merkur - Safety Razors, Tools, and หาเงินออนไลน์ Tools. Merkur - Merkur - Safety Razors, Tools, and Tools - Merkur - Safety Razors, Tools, and 바카라 Tools - Merkur - deccasino Safety Razors

    BalasHapus
  2. Borgata Hotel Casino & Spa, Atlantic City NJ - JTG Hub
    The Borgata Hotel Casino & Spa is a 양산 출장샵 fully integrated resort 천안 출장샵 hotel offering all-you-can-eat, indoor and outdoor 상주 출장샵 dining, and has 양주 출장마사지 a casino, a poker room, 남양주 출장샵

    BalasHapus