SEJARAH
PERKEMBANGAN DAN PEMIKIRAN GENDER
- PENDAHULUAN
Maraknya pemberitaan
dan isu-isu masalah diskriminasi dan konstruksi perempuan di berbagai
tempat membuat kalangan perempuan bangkit dan tergerak untuk bisa
setara antara perempuan dan laki-laki. Adanya budaya patriarkhi yang
selalu membelenggu kaum hawa menjadi histori perjalanan lahirnya
gender. Dominasi laki-laki lebih terangkat daripada perempuan yang
dianggap sebagai seorang yang lemah dan hanya wajib mengurus rumah
(area domestik).
Selain itu
laki-laki juga lebih bebas dalam ruang publik. Memang tidak
dipungkiri bahwa mekanisme struktural, historis dan ideologis
melahirkan subordinasi dalam masyarakat. Ketidakadilan itu menjadi
kekuatan lahirnya gerakan gender dengan harapan perempuan tidak
hanya aktif di rumah saja. perempuan bisa aktif dalam ruang publik
seperti halnya laki-laki. Ketidakadilan itu memicu lahirnya gerakan
gender yaitu adanya feminisme dengan keanekaragaan masing-masing.
Seperti feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis.
- PERMASALAHAN
- Sejarah Perkembangan Gender
- Gerakan dan Pemikiran Gender
- PEMBAHASAN
- Sejarah Perkembangan Gender
Kami
tidak meminta untuk diistimewakan atau berusaha merebut kekuasaan
tertentu. Yang sebenarnya kami inginkan adalah sederhana, bahwa,
mereka mengangkat kaki mereka dari tubuh kami dan membiarkan kami
berdiri tegap sama seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan
(Sarah
Grimke, 1837).
Awal gerakan
perempuan di dunia tercatat di tahun 1800-an. Ketika itu para
perempuan menganggap ketertinggalan mereka disebabkan oleh kebanyakan
perempuan masih buta huruf, miskin dan tidak memiliki keahlian.
Karenanya gerakan perempuan awal ini lebih mengedepankan perubahan
sistem sosial dimana perempuan diperbolehkan ikut memilih dalam
pemilu. Tokoh-tokoh perempuan ketika itu antara lain Susan B.
Anthony, Elizabeth Cady Stanton dan Marry Wollstonecraft.
Bertahun-tahun mereka berjuang, turun jalan dan 200 aktivis perempuan
sempat ditahan, ketika itu.
Seratus tahun
kemudian, perempuan-perempuan kelas menengah abad industrialisasi
mulai menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat. Mereka mulai
keluar rumah dan mengamati banyaknya ketimpangan sosial dengan korban
para perempuan. Pada saat itu benbih-benih feminsime mulai muncul,
meski dibutuhkan seratus tahun lagi untuk menghadirkan seorang
feminis yang dapat menulis secara teorityis tentang persoalan
perempuan. Adalah Simone de Beauvoir, seorang filsuf Perancis yang
menghasilkan karya pertama berjudul The Second Sex. Dua puluh tahun
setelah kemunculan buku itu, pergerakan perempuan barat mengalami
kemajuan yang pesat.1
Persoalan
ketidakadilan seperti upah yang tidak adil, cuti haid, aborsi hingga
kekerasan mulai didiskusikan secara terbuka. Pergerakan perempuan
baik di tahun 1800-an maupun 1970-an telah membawa dampak luar biasa
dalam kehidupan sehari-hari perempuan. Tetapi bukan berarti
perjuangan perempuan berhenti sampai di situ. Wacana-wacana baru
terus bermunculan hingga kini. Perjuangan perempuan adalah perjuangan
tersulit dan terlama, berbeda dengan perjuangan kemerdekaan atau
rasial. Musuh perempuan seringkali tidak berbentuk dan bersembunyi
dalam kamar-kamar pribadi. Karenya perjuangan kesetraan perempuan
tetap akan bergulir sampai kami berdiri tegap seperti manusia lainnya
yang diciptakan Tuhan.2
- Sejarah Perkembangan Perempuan Pergerakan Indonesia
Dalam sejarah
pergerakan perempuan Indonesia tertulis bahwa 22-26 Desember 1926 di
Yogyakarta, dilaksanakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama,
setelah terjadi pertemuan atau kongres yang lain, seperti pemufakatan
Perhimpunan Perempuan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI). Kemudian
peristiwa tersebut dikenal sebagai Hari Ibu.
Kongres Perempuan
Pertama adalah salah satu momentum dari proses perjuangan perempuan
Indonesia. Sekalipun sebelumnya, buku sejarah menyebutkan bahwa awal
gerakan perempuan adalah perjuangan Kartini. Tentu saja, hal tersebut
merupakan pembatasan sendiri, karena jauh sebelum Kartini bisa
ditemukan beberapa nama perempuan yang melakukan pergerakan bagi
bangsa dan lingkungannya. Di kalangan elite, dikenal nama-naman
seperti Tjoet Nya’ Dhien, Cut Meutia, Roro Gusik (istri Untung
Suropati), Christina Martha Tiahahu, Emmy Saela, dan masih banyak
lainnya.
Pada tahun 1905 Dewi
Sartika mendirikan sekolah “ Keutamaan Istri” di Bandung. Tahun
1912 Kartini mendirikan sekolah perempuan di Semarang. Tahun 1915,
Rahma El Junusia dan adiknya Za’unnuddin Labai El Junusia mendirika
sekolah agama di Minangkabau. Pada masa itu juga munculah organisasi
tentang perempuan. Pada waktu itu muncul Putri Mardika, Kautaman
Istri, Pawiyatan Wanito, Wanito Hado, Wanito Susilo, dan sebagainya.
Organisasi ini menekankan peningkatan perempuan, serta kehidupan
berkeluarga. 3
Pada masa itu
rupanya semangat kebangsaan dan kemuakan dijajah telah membangkitkan
semangat kaum muda Indonesia untuk memulai sesuatu. Pada masa itu
misalnya, berdirilah organisasi non pemerintah yaitu Boedi Oetomo
pada 1908. Demikian pula di kalangan perempuan, banyak organisasi
muncul karena semangat perempuan sebagai pribadi, bukan karena
sebagai istri dari suami atau anak dari bapak yang merupakan tokoh
masyarakat.
Pada masa itu muncul
Putri Mardika, Kautaman Istri, Pawiyatan Wanito, Wanito Hado, Wanito
Susilo, dan sebagainya. Organisasi ini menekankan peningkatan
pendidikan perempuan, serta kehidupan berkeluarga. Pad atahun 1913,
muncul perjuangan pperempuan melaluai media massa, koran bahasa jawa,
Wanito Sworo yang dipimpin Siti Soendari.4
- Aliran-Aliran Gerakan Gender
Gerakan perempuan
tidak pernah mengalami keseragaman di muka bumi ini. Antara satu
negara dan satu budaya dengan negara dan budaya lain, memiliki pola
yang kadang berbeda, bahkan ambivalen. Feminisme sebagai sebuah isme
dalam perjuangan gerakan perempuan juga mengalami interpretasi dan
penekanan yang berbeda di beberapa tempat.
Ide atau gagasan
para feminis yang berbeda di tiap negara ini misalnya tampak
pada
para feminis Itali yang justru memutuskan diri untuk menjadi oposan dari pendefinisian kata feminsime yang berkembang di barat pada umumnya. Mereka tidak terlalu setuju dengan konsep yang mengatakan bahwa dengan membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan di ranah publik, akan berdampak timbulnya kesetaraan. Para feminis Itali lebih banyak menyupayakan pelayanan-pelayanan sosialdan hak-hak perempuan sebagai ibu, istri dan pekerja. Mereka memiliki UDI (Unione DonneItaliane) yang setara dan sebesar NOW (National Organization for Women) di Amerika Serikat. Pola penekanan perjuangan feminis Itali ini mengingatkan kita pada gaya perjuangan perempuan di banom-banom NU di Indonesia.
para feminis Itali yang justru memutuskan diri untuk menjadi oposan dari pendefinisian kata feminsime yang berkembang di barat pada umumnya. Mereka tidak terlalu setuju dengan konsep yang mengatakan bahwa dengan membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan di ranah publik, akan berdampak timbulnya kesetaraan. Para feminis Itali lebih banyak menyupayakan pelayanan-pelayanan sosialdan hak-hak perempuan sebagai ibu, istri dan pekerja. Mereka memiliki UDI (Unione DonneItaliane) yang setara dan sebesar NOW (National Organization for Women) di Amerika Serikat. Pola penekanan perjuangan feminis Itali ini mengingatkan kita pada gaya perjuangan perempuan di banom-banom NU di Indonesia.
Hal yang sedikit
berbeda terjadi di Perancis. Umumnya feminis di sana menolak dijuluki
sebagai feminis. Para perempuan yang tergabung dalam Mouvment de
liberation des femmes ini lebih berbasis pada psikoanalisa dan kritik
sosial. Di Inggris pun tokoh-tokoh seperti Juliat Mitcell dan Ann
Oakley termasuk menentang klaim-klaim biologis yang dilontarkan para
feminis radikal dan liberal yang menjadi tren di tahun 60-an. Bagi
mereka, yang bisa menjadi pemersatu kaum perempuan adalah konstruksi
sosial bukan semata kodrat biologinya.
Di dunia Arab,
istilah feminisme dan feminis tertolak lebih karena faktor image
barat yang melekat pada istilah tersebut. Pejuang feminis di sana
menyiasati masalah ini dengan menggunakan istilah yang lebih Arab
atau Islam seperti Nisa’i atau Nisaism. Meski kemudian definisi
feminisme banyak mengalami pergeseran, namun rata-rata feminis tetap
melihat bahwa setiap konsep, entah itu dari kubu liberal, radikal
maupun sosialis tetap beraliansi secara subordinat terhadap ideologi
politik tertentu.
Dan konflik yang
terjadi di antara feminis itu sendiri sering disebabkan diksi politik
konvensional melawan yang moderat. Misalnya konsep otonomi dari kubu
feminis radikal berkaitan dengan gerakan antikolonial, sementara kubu
feminis liberal menekankan pada pentingnya memperjuangkan kesetaraan
hak-hak perempuan dalam kerangka bermasyarakat dan berpolitik yang
plural. Inilah mengapa feminis selalu bercampur dengan tradisi
politik yang dominan di suatu masa.
Hingga bila
dipilah-pilah berdasarkan tradisi politik yang berkembang, maka
aliran-aliran dalam femninisme dapat dibedakan ke dalam kubu-kubu
sebagai berikut.5
- Feminisme radikal
Feminisme radikal
ini muncul sebagai reaksi atas kultur sex-ism atau diskriminasi
sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 60-an, khususnya
sangat penting dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi. Para
penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara
tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biolagis. Bagi
gerakan feminisme radikal, revolusi terjadi pada setiap perempuan
yang telah mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman dan
hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. Dengan kata lain,
bagi gerakan feminisme radikal, revolusi dan perlawanan atas
penindasan perempuan bisa dalam bentuk yang sangat personal; urusan
subjektif individual perempuan.6
Anggapan ini justru
sangat bertentangan dengan feminisme Marxis yang melihat penindasan
perempuan sebagai realitas objektif. Sungguhpun demikian sumbangn
feminisme radikal ini sangatlah besar pada gerakan perempuan secara
umum, terutama karena paham dan analisis mereka bahwa personal is
political memberikan peluang politik bagi perempuan. Namun, lagi-lagi
golongan ini mengambil bentuk mode perjuangan maskulinitas, yakni
persaingan untuk mengatasi kaum laik-laki.
2. Feminisme liberal
Aliran ini muncul
sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang ada pada umumnya
menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta
kebebasan individu. Namun, pada saat yang sama dianggap
mendiskriminasi kaum perempuan. Asumsi dasar feminisme liberal
berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan
(equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia
privat dan publik.
Feminisme liberal
tidak pernah mempertanyakan diskriminasi akibat ideologi patriarki,
sebagaimana dipersoalkan oleh feminisme radikal maupun analisis satau
struktur kelas politik, ekonomi, serta gender sebagaimana
dipermasalahkan oleh gerakan feminis sosialis. Meskipun gagasan
feminisme ini telah muncul pada abad-19an dan awal abad-20, namun
baru pada tahun 60-an gerakan ini kelihatan menonjol dan akhirnya
mendominasi pemikiran tentang perempuan di seluruh dunia, khususnya
dunia ketiga saat ini.
Salah satu pengaruh
feminisme liberal ini terekspresi dalam teori modernisasi dan progam
global yang dikenal sebagai Wo,en In Development. Sejak awal, bagi
mereka persoalan perempuan dianggap sebagai masalah (anomaly) bagi
perekonomian modern atau partisipasi politik maupun pembangunan.
Menurut mereka, keterbelakangan kaum perempuan selain akibat sikap
mereka yang irrasioanal yang sumbernya karena berpegang teguh pada
nilai-nilai tradisional, juga karena kaum perempuan tidak
berpartisipasi dalam pembangunan.7
Keduanya feminisme
ini lebih mengedepankan klaim-klaim biologis, dan dikenal sebagai
kelompok feminis-ideologis. Adapun tokoh aliran ini antara lain
Margaret Fuller, Harriet Martineuw, Anglina Grimke dan Susan
Anthony8.
- Feminisme Marxis
Kelompok ini menolak
keyakinan kaum feminisme radikal yang menyatakan biologi sebagai
dasar pembedaan gender. Bagi mereka penindasan perempuan adalah
bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Persoalan
perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme.
Bagi penganut feminisme Marxis, penindasan perempuan merupakan
kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural.
Oleh karena itu,
mereka tidak menganggap patriarki atau kaum laki-laki sebagai
permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya
merupakan penyebab masalahnya. Dengan begitu penyelesainnya pun harus
bersifat kultural, yakni hanya dengan melakukan perubahan struktur
kelas dan pemutusan hubungan dangan sistem kapiltalisme
internasional. Perubahan struktur kelas itulah yang mereka sebut
sebagai proses revolusi. Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan di
Rusia dengan menampilkan tokohnya seperti Clara Zetkin dan Rosa
Luxemburg9.
- Feminisme Sosial
Penganut aliran ini,
menurut Jaggar (1983), melakukan sintisesis antara metode historis
materialis Mark dan Eagels dengan gagasan personal
is political
dari kaum feminisme radikal. Feminisme sosial mulai dikenal tahun
1970-an. Aliran ini memiliki ketegangan antara kebutuhan kesadaran
feminisme disatu pihak dan kebutuhan menjaga integritas materialisme
Marxisme di pihak lain, sehingga analisis partiarki perlu ditambahkan
dalam analisis mode of production.
Feminisme sosialisis
juga menganggap bahwa penindasan perempuan bisa melahirkan kesadaran
revolusi, tapi bukan revolusi model perempuan sebagai jenis kelamin
(women as sex) yang diproklamirkan oleh feminisme radikal.10
Feminisme Sosialis
atau feminisme Marxis pada dasarnya sama, yaitu membicarakan tentang
: perempuan lebih dipandang dari sudut teori kelas, sebagai kelas
masyarakat yang tertindas.11
- KESIMPULAN
Setiap perempuan
pasti menginkan bahwa dirinya diperlakukan sama dengan laki-laki.
Dimana akan terjadisebuah keseimbangan antara laki-laki dan
perempuan. Karena adanya sebuah ketidakadilan yang dirasakan oleh
kaum perempuan, menyebabkan para aktifis yang bergerak pada bidang
perempuan menjadi gerah dan melakukan suatu hal yang menyatakan bahwa
mereka ingin agar tidak dipandang sebelah mata oleh kaum laki-laki
maupun duni.
Maka lahirlah
aliran-aliran feminisme, diantaranya adalah feminisme Radikal,
feminisme Liberal, feminisme Marxis, feminisme Sosial. yang mana dari
keempat aliran tersebut mempunyai ciri dan pandangn tersendiri yang
mereka anut.
- PENUTUP
Demikianlah makalah
yang dapat kami sampaikan. Tentunya masih banyak kekurangan. Kritik
dan saran yang membangun sangatlah saya harapkan demi perbaikan ke
depan. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour. Analisis
Gender&Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.
Murniati, A. Nunuk P. Getar
Gender, Magelang:
Indonesia Tera. 2004.
3
A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender, Magelang: Indonesia Tera. 2004.
Hal: 14-16
4
Ibid A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender. Hal: 16
6
Mansour Fakih, Analisis Gender&Transformasi Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996. Hal: 84-86
7
Ibid, Mansour Fakih, Analisis Gender&Transformasi Sosial, hal:
81-83
8
Nassaruddin Umar. Argumen Kesetaraan Gender. Paramadina : Jakarta.
1999. Hal. 65
9
Ibid. Hal 64
10
Ibid, Mansour Fakih, Analisis Gender&Transformasi Sosial, hal:
86-89
SEJARAH
PERKEMBANGAN DAN PEMIKIRAN GENDER
- PENDAHULUAN
Maraknya pemberitaan
dan isu-isu masalah diskriminasi dan konstruksi perempuan di berbagai
tempat membuat kalangan perempuan bangkit dan tergerak untuk bisa
setara antara perempuan dan laki-laki. Adanya budaya patriarkhi yang
selalu membelenggu kaum hawa menjadi histori perjalanan lahirnya
gender. Dominasi laki-laki lebih terangkat daripada perempuan yang
dianggap sebagai seorang yang lemah dan hanya wajib mengurus rumah
(area domestik).
Selain itu
laki-laki juga lebih bebas dalam ruang publik. Memang tidak
dipungkiri bahwa mekanisme struktural, historis dan ideologis
melahirkan subordinasi dalam masyarakat. Ketidakadilan itu menjadi
kekuatan lahirnya gerakan gender dengan harapan perempuan tidak
hanya aktif di rumah saja. perempuan bisa aktif dalam ruang publik
seperti halnya laki-laki. Ketidakadilan itu memicu lahirnya gerakan
gender yaitu adanya feminisme dengan keanekaragaan masing-masing.
Seperti feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis.
- PERMASALAHAN
- Sejarah Perkembangan Gender
- Gerakan dan Pemikiran Gender
- PEMBAHASAN
- Sejarah Perkembangan Gender
Kami
tidak meminta untuk diistimewakan atau berusaha merebut kekuasaan
tertentu. Yang sebenarnya kami inginkan adalah sederhana, bahwa,
mereka mengangkat kaki mereka dari tubuh kami dan membiarkan kami
berdiri tegap sama seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan
(Sarah
Grimke, 1837).
Awal gerakan
perempuan di dunia tercatat di tahun 1800-an. Ketika itu para
perempuan menganggap ketertinggalan mereka disebabkan oleh kebanyakan
perempuan masih buta huruf, miskin dan tidak memiliki keahlian.
Karenanya gerakan perempuan awal ini lebih mengedepankan perubahan
sistem sosial dimana perempuan diperbolehkan ikut memilih dalam
pemilu. Tokoh-tokoh perempuan ketika itu antara lain Susan B.
Anthony, Elizabeth Cady Stanton dan Marry Wollstonecraft.
Bertahun-tahun mereka berjuang, turun jalan dan 200 aktivis perempuan
sempat ditahan, ketika itu.
Seratus tahun
kemudian, perempuan-perempuan kelas menengah abad industrialisasi
mulai menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat. Mereka mulai
keluar rumah dan mengamati banyaknya ketimpangan sosial dengan korban
para perempuan. Pada saat itu benbih-benih feminsime mulai muncul,
meski dibutuhkan seratus tahun lagi untuk menghadirkan seorang
feminis yang dapat menulis secara teorityis tentang persoalan
perempuan. Adalah Simone de Beauvoir, seorang filsuf Perancis yang
menghasilkan karya pertama berjudul The Second Sex. Dua puluh tahun
setelah kemunculan buku itu, pergerakan perempuan barat mengalami
kemajuan yang pesat.1
Persoalan
ketidakadilan seperti upah yang tidak adil, cuti haid, aborsi hingga
kekerasan mulai didiskusikan secara terbuka. Pergerakan perempuan
baik di tahun 1800-an maupun 1970-an telah membawa dampak luar biasa
dalam kehidupan sehari-hari perempuan. Tetapi bukan berarti
perjuangan perempuan berhenti sampai di situ. Wacana-wacana baru
terus bermunculan hingga kini. Perjuangan perempuan adalah perjuangan
tersulit dan terlama, berbeda dengan perjuangan kemerdekaan atau
rasial. Musuh perempuan seringkali tidak berbentuk dan bersembunyi
dalam kamar-kamar pribadi. Karenya perjuangan kesetraan perempuan
tetap akan bergulir sampai kami berdiri tegap seperti manusia lainnya
yang diciptakan Tuhan.2
- Sejarah Perkembangan Perempuan Pergerakan Indonesia
Dalam sejarah
pergerakan perempuan Indonesia tertulis bahwa 22-26 Desember 1926 di
Yogyakarta, dilaksanakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama,
setelah terjadi pertemuan atau kongres yang lain, seperti pemufakatan
Perhimpunan Perempuan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI). Kemudian
peristiwa tersebut dikenal sebagai Hari Ibu.
Kongres Perempuan
Pertama adalah salah satu momentum dari proses perjuangan perempuan
Indonesia. Sekalipun sebelumnya, buku sejarah menyebutkan bahwa awal
gerakan perempuan adalah perjuangan Kartini. Tentu saja, hal tersebut
merupakan pembatasan sendiri, karena jauh sebelum Kartini bisa
ditemukan beberapa nama perempuan yang melakukan pergerakan bagi
bangsa dan lingkungannya. Di kalangan elite, dikenal nama-naman
seperti Tjoet Nya’ Dhien, Cut Meutia, Roro Gusik (istri Untung
Suropati), Christina Martha Tiahahu, Emmy Saela, dan masih banyak
lainnya.
Pada tahun 1905 Dewi
Sartika mendirikan sekolah “ Keutamaan Istri” di Bandung. Tahun
1912 Kartini mendirikan sekolah perempuan di Semarang. Tahun 1915,
Rahma El Junusia dan adiknya Za’unnuddin Labai El Junusia mendirika
sekolah agama di Minangkabau. Pada masa itu juga munculah organisasi
tentang perempuan. Pada waktu itu muncul Putri Mardika, Kautaman
Istri, Pawiyatan Wanito, Wanito Hado, Wanito Susilo, dan sebagainya.
Organisasi ini menekankan peningkatan perempuan, serta kehidupan
berkeluarga. 3
Pada masa itu
rupanya semangat kebangsaan dan kemuakan dijajah telah membangkitkan
semangat kaum muda Indonesia untuk memulai sesuatu. Pada masa itu
misalnya, berdirilah organisasi non pemerintah yaitu Boedi Oetomo
pada 1908. Demikian pula di kalangan perempuan, banyak organisasi
muncul karena semangat perempuan sebagai pribadi, bukan karena
sebagai istri dari suami atau anak dari bapak yang merupakan tokoh
masyarakat.
Pada masa itu muncul
Putri Mardika, Kautaman Istri, Pawiyatan Wanito, Wanito Hado, Wanito
Susilo, dan sebagainya. Organisasi ini menekankan peningkatan
pendidikan perempuan, serta kehidupan berkeluarga. Pad atahun 1913,
muncul perjuangan pperempuan melaluai media massa, koran bahasa jawa,
Wanito Sworo yang dipimpin Siti Soendari.4
- Aliran-Aliran Gerakan Gender
Gerakan perempuan
tidak pernah mengalami keseragaman di muka bumi ini. Antara satu
negara dan satu budaya dengan negara dan budaya lain, memiliki pola
yang kadang berbeda, bahkan ambivalen. Feminisme sebagai sebuah isme
dalam perjuangan gerakan perempuan juga mengalami interpretasi dan
penekanan yang berbeda di beberapa tempat.
Ide atau gagasan
para feminis yang berbeda di tiap negara ini misalnya tampak
pada
para feminis Itali yang justru memutuskan diri untuk menjadi oposan dari pendefinisian kata feminsime yang berkembang di barat pada umumnya. Mereka tidak terlalu setuju dengan konsep yang mengatakan bahwa dengan membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan di ranah publik, akan berdampak timbulnya kesetaraan. Para feminis Itali lebih banyak menyupayakan pelayanan-pelayanan sosialdan hak-hak perempuan sebagai ibu, istri dan pekerja. Mereka memiliki UDI (Unione DonneItaliane) yang setara dan sebesar NOW (National Organization for Women) di Amerika Serikat. Pola penekanan perjuangan feminis Itali ini mengingatkan kita pada gaya perjuangan perempuan di banom-banom NU di Indonesia.
para feminis Itali yang justru memutuskan diri untuk menjadi oposan dari pendefinisian kata feminsime yang berkembang di barat pada umumnya. Mereka tidak terlalu setuju dengan konsep yang mengatakan bahwa dengan membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan di ranah publik, akan berdampak timbulnya kesetaraan. Para feminis Itali lebih banyak menyupayakan pelayanan-pelayanan sosialdan hak-hak perempuan sebagai ibu, istri dan pekerja. Mereka memiliki UDI (Unione DonneItaliane) yang setara dan sebesar NOW (National Organization for Women) di Amerika Serikat. Pola penekanan perjuangan feminis Itali ini mengingatkan kita pada gaya perjuangan perempuan di banom-banom NU di Indonesia.
Hal yang sedikit
berbeda terjadi di Perancis. Umumnya feminis di sana menolak dijuluki
sebagai feminis. Para perempuan yang tergabung dalam Mouvment de
liberation des femmes ini lebih berbasis pada psikoanalisa dan kritik
sosial. Di Inggris pun tokoh-tokoh seperti Juliat Mitcell dan Ann
Oakley termasuk menentang klaim-klaim biologis yang dilontarkan para
feminis radikal dan liberal yang menjadi tren di tahun 60-an. Bagi
mereka, yang bisa menjadi pemersatu kaum perempuan adalah konstruksi
sosial bukan semata kodrat biologinya.
Di dunia Arab,
istilah feminisme dan feminis tertolak lebih karena faktor image
barat yang melekat pada istilah tersebut. Pejuang feminis di sana
menyiasati masalah ini dengan menggunakan istilah yang lebih Arab
atau Islam seperti Nisa’i atau Nisaism. Meski kemudian definisi
feminisme banyak mengalami pergeseran, namun rata-rata feminis tetap
melihat bahwa setiap konsep, entah itu dari kubu liberal, radikal
maupun sosialis tetap beraliansi secara subordinat terhadap ideologi
politik tertentu.
Dan konflik yang
terjadi di antara feminis itu sendiri sering disebabkan diksi politik
konvensional melawan yang moderat. Misalnya konsep otonomi dari kubu
feminis radikal berkaitan dengan gerakan antikolonial, sementara kubu
feminis liberal menekankan pada pentingnya memperjuangkan kesetaraan
hak-hak perempuan dalam kerangka bermasyarakat dan berpolitik yang
plural. Inilah mengapa feminis selalu bercampur dengan tradisi
politik yang dominan di suatu masa.
Hingga bila
dipilah-pilah berdasarkan tradisi politik yang berkembang, maka
aliran-aliran dalam femninisme dapat dibedakan ke dalam kubu-kubu
sebagai berikut.5
- Feminisme radikal
Feminisme radikal
ini muncul sebagai reaksi atas kultur sex-ism atau diskriminasi
sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 60-an, khususnya
sangat penting dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi. Para
penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara
tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biolagis. Bagi
gerakan feminisme radikal, revolusi terjadi pada setiap perempuan
yang telah mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman dan
hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. Dengan kata lain,
bagi gerakan feminisme radikal, revolusi dan perlawanan atas
penindasan perempuan bisa dalam bentuk yang sangat personal; urusan
subjektif individual perempuan.6
Anggapan ini justru
sangat bertentangan dengan feminisme Marxis yang melihat penindasan
perempuan sebagai realitas objektif. Sungguhpun demikian sumbangn
feminisme radikal ini sangatlah besar pada gerakan perempuan secara
umum, terutama karena paham dan analisis mereka bahwa personal is
political memberikan peluang politik bagi perempuan. Namun, lagi-lagi
golongan ini mengambil bentuk mode perjuangan maskulinitas, yakni
persaingan untuk mengatasi kaum laik-laki.
2. Feminisme liberal
Aliran ini muncul
sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang ada pada umumnya
menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta
kebebasan individu. Namun, pada saat yang sama dianggap
mendiskriminasi kaum perempuan. Asumsi dasar feminisme liberal
berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan
(equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia
privat dan publik.
Feminisme liberal
tidak pernah mempertanyakan diskriminasi akibat ideologi patriarki,
sebagaimana dipersoalkan oleh feminisme radikal maupun analisis satau
struktur kelas politik, ekonomi, serta gender sebagaimana
dipermasalahkan oleh gerakan feminis sosialis. Meskipun gagasan
feminisme ini telah muncul pada abad-19an dan awal abad-20, namun
baru pada tahun 60-an gerakan ini kelihatan menonjol dan akhirnya
mendominasi pemikiran tentang perempuan di seluruh dunia, khususnya
dunia ketiga saat ini.
Salah satu pengaruh
feminisme liberal ini terekspresi dalam teori modernisasi dan progam
global yang dikenal sebagai Wo,en In Development. Sejak awal, bagi
mereka persoalan perempuan dianggap sebagai masalah (anomaly) bagi
perekonomian modern atau partisipasi politik maupun pembangunan.
Menurut mereka, keterbelakangan kaum perempuan selain akibat sikap
mereka yang irrasioanal yang sumbernya karena berpegang teguh pada
nilai-nilai tradisional, juga karena kaum perempuan tidak
berpartisipasi dalam pembangunan.7
Keduanya feminisme
ini lebih mengedepankan klaim-klaim biologis, dan dikenal sebagai
kelompok feminis-ideologis. Adapun tokoh aliran ini antara lain
Margaret Fuller, Harriet Martineuw, Anglina Grimke dan Susan
Anthony8.
- Feminisme Marxis
Kelompok ini menolak
keyakinan kaum feminisme radikal yang menyatakan biologi sebagai
dasar pembedaan gender. Bagi mereka penindasan perempuan adalah
bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Persoalan
perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme.
Bagi penganut feminisme Marxis, penindasan perempuan merupakan
kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural.
Oleh karena itu,
mereka tidak menganggap patriarki atau kaum laki-laki sebagai
permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya
merupakan penyebab masalahnya. Dengan begitu penyelesainnya pun harus
bersifat kultural, yakni hanya dengan melakukan perubahan struktur
kelas dan pemutusan hubungan dangan sistem kapiltalisme
internasional. Perubahan struktur kelas itulah yang mereka sebut
sebagai proses revolusi. Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan di
Rusia dengan menampilkan tokohnya seperti Clara Zetkin dan Rosa
Luxemburg9.
- Feminisme Sosial
Penganut aliran ini,
menurut Jaggar (1983), melakukan sintisesis antara metode historis
materialis Mark dan Eagels dengan gagasan personal
is political
dari kaum feminisme radikal. Feminisme sosial mulai dikenal tahun
1970-an. Aliran ini memiliki ketegangan antara kebutuhan kesadaran
feminisme disatu pihak dan kebutuhan menjaga integritas materialisme
Marxisme di pihak lain, sehingga analisis partiarki perlu ditambahkan
dalam analisis mode of production.
Feminisme sosialisis
juga menganggap bahwa penindasan perempuan bisa melahirkan kesadaran
revolusi, tapi bukan revolusi model perempuan sebagai jenis kelamin
(women as sex) yang diproklamirkan oleh feminisme radikal.10
Feminisme Sosialis
atau feminisme Marxis pada dasarnya sama, yaitu membicarakan tentang
: perempuan lebih dipandang dari sudut teori kelas, sebagai kelas
masyarakat yang tertindas.11
- KESIMPULAN
Setiap perempuan
pasti menginkan bahwa dirinya diperlakukan sama dengan laki-laki.
Dimana akan terjadisebuah keseimbangan antara laki-laki dan
perempuan. Karena adanya sebuah ketidakadilan yang dirasakan oleh
kaum perempuan, menyebabkan para aktifis yang bergerak pada bidang
perempuan menjadi gerah dan melakukan suatu hal yang menyatakan bahwa
mereka ingin agar tidak dipandang sebelah mata oleh kaum laki-laki
maupun duni.
Maka lahirlah
aliran-aliran feminisme, diantaranya adalah feminisme Radikal,
feminisme Liberal, feminisme Marxis, feminisme Sosial. yang mana dari
keempat aliran tersebut mempunyai ciri dan pandangn tersendiri yang
mereka anut.
- PENUTUP
Demikianlah makalah
yang dapat kami sampaikan. Tentunya masih banyak kekurangan. Kritik
dan saran yang membangun sangatlah saya harapkan demi perbaikan ke
depan. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour. Analisis
Gender&Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.
Murniati, A. Nunuk P. Getar
Gender, Magelang:
Indonesia Tera. 2004.
3
A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender, Magelang: Indonesia Tera. 2004.
Hal: 14-16
4
Ibid A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender. Hal: 16
6
Mansour Fakih, Analisis Gender&Transformasi Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996. Hal: 84-86
7
Ibid, Mansour Fakih, Analisis Gender&Transformasi Sosial, hal:
81-83
8
Nassaruddin Umar. Argumen Kesetaraan Gender. Paramadina : Jakarta.
1999. Hal. 65
9
Ibid. Hal 64
10
Ibid, Mansour Fakih, Analisis Gender&Transformasi Sosial, hal:
86-89
SEJARAH
PERKEMBANGAN DAN PEMIKIRAN GENDER
- PENDAHULUAN
Maraknya pemberitaan
dan isu-isu masalah diskriminasi dan konstruksi perempuan di berbagai
tempat membuat kalangan perempuan bangkit dan tergerak untuk bisa
setara antara perempuan dan laki-laki. Adanya budaya patriarkhi yang
selalu membelenggu kaum hawa menjadi histori perjalanan lahirnya
gender. Dominasi laki-laki lebih terangkat daripada perempuan yang
dianggap sebagai seorang yang lemah dan hanya wajib mengurus rumah
(area domestik).
Selain itu
laki-laki juga lebih bebas dalam ruang publik. Memang tidak
dipungkiri bahwa mekanisme struktural, historis dan ideologis
melahirkan subordinasi dalam masyarakat. Ketidakadilan itu menjadi
kekuatan lahirnya gerakan gender dengan harapan perempuan tidak
hanya aktif di rumah saja. perempuan bisa aktif dalam ruang publik
seperti halnya laki-laki. Ketidakadilan itu memicu lahirnya gerakan
gender yaitu adanya feminisme dengan keanekaragaan masing-masing.
Seperti feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis.
- PERMASALAHAN
- Sejarah Perkembangan Gender
- Gerakan dan Pemikiran Gender
- PEMBAHASAN
- Sejarah Perkembangan Gender
Kami
tidak meminta untuk diistimewakan atau berusaha merebut kekuasaan
tertentu. Yang sebenarnya kami inginkan adalah sederhana, bahwa,
mereka mengangkat kaki mereka dari tubuh kami dan membiarkan kami
berdiri tegap sama seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan
(Sarah
Grimke, 1837).
Awal gerakan
perempuan di dunia tercatat di tahun 1800-an. Ketika itu para
perempuan menganggap ketertinggalan mereka disebabkan oleh kebanyakan
perempuan masih buta huruf, miskin dan tidak memiliki keahlian.
Karenanya gerakan perempuan awal ini lebih mengedepankan perubahan
sistem sosial dimana perempuan diperbolehkan ikut memilih dalam
pemilu. Tokoh-tokoh perempuan ketika itu antara lain Susan B.
Anthony, Elizabeth Cady Stanton dan Marry Wollstonecraft.
Bertahun-tahun mereka berjuang, turun jalan dan 200 aktivis perempuan
sempat ditahan, ketika itu.
Seratus tahun
kemudian, perempuan-perempuan kelas menengah abad industrialisasi
mulai menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat. Mereka mulai
keluar rumah dan mengamati banyaknya ketimpangan sosial dengan korban
para perempuan. Pada saat itu benbih-benih feminsime mulai muncul,
meski dibutuhkan seratus tahun lagi untuk menghadirkan seorang
feminis yang dapat menulis secara teorityis tentang persoalan
perempuan. Adalah Simone de Beauvoir, seorang filsuf Perancis yang
menghasilkan karya pertama berjudul The Second Sex. Dua puluh tahun
setelah kemunculan buku itu, pergerakan perempuan barat mengalami
kemajuan yang pesat.1
Persoalan
ketidakadilan seperti upah yang tidak adil, cuti haid, aborsi hingga
kekerasan mulai didiskusikan secara terbuka. Pergerakan perempuan
baik di tahun 1800-an maupun 1970-an telah membawa dampak luar biasa
dalam kehidupan sehari-hari perempuan. Tetapi bukan berarti
perjuangan perempuan berhenti sampai di situ. Wacana-wacana baru
terus bermunculan hingga kini. Perjuangan perempuan adalah perjuangan
tersulit dan terlama, berbeda dengan perjuangan kemerdekaan atau
rasial. Musuh perempuan seringkali tidak berbentuk dan bersembunyi
dalam kamar-kamar pribadi. Karenya perjuangan kesetraan perempuan
tetap akan bergulir sampai kami berdiri tegap seperti manusia lainnya
yang diciptakan Tuhan.2
- Sejarah Perkembangan Perempuan Pergerakan Indonesia
Dalam sejarah
pergerakan perempuan Indonesia tertulis bahwa 22-26 Desember 1926 di
Yogyakarta, dilaksanakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama,
setelah terjadi pertemuan atau kongres yang lain, seperti pemufakatan
Perhimpunan Perempuan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI). Kemudian
peristiwa tersebut dikenal sebagai Hari Ibu.
Kongres Perempuan
Pertama adalah salah satu momentum dari proses perjuangan perempuan
Indonesia. Sekalipun sebelumnya, buku sejarah menyebutkan bahwa awal
gerakan perempuan adalah perjuangan Kartini. Tentu saja, hal tersebut
merupakan pembatasan sendiri, karena jauh sebelum Kartini bisa
ditemukan beberapa nama perempuan yang melakukan pergerakan bagi
bangsa dan lingkungannya. Di kalangan elite, dikenal nama-naman
seperti Tjoet Nya’ Dhien, Cut Meutia, Roro Gusik (istri Untung
Suropati), Christina Martha Tiahahu, Emmy Saela, dan masih banyak
lainnya.
Pada tahun 1905 Dewi
Sartika mendirikan sekolah “ Keutamaan Istri” di Bandung. Tahun
1912 Kartini mendirikan sekolah perempuan di Semarang. Tahun 1915,
Rahma El Junusia dan adiknya Za’unnuddin Labai El Junusia mendirika
sekolah agama di Minangkabau. Pada masa itu juga munculah organisasi
tentang perempuan. Pada waktu itu muncul Putri Mardika, Kautaman
Istri, Pawiyatan Wanito, Wanito Hado, Wanito Susilo, dan sebagainya.
Organisasi ini menekankan peningkatan perempuan, serta kehidupan
berkeluarga. 3
Pada masa itu
rupanya semangat kebangsaan dan kemuakan dijajah telah membangkitkan
semangat kaum muda Indonesia untuk memulai sesuatu. Pada masa itu
misalnya, berdirilah organisasi non pemerintah yaitu Boedi Oetomo
pada 1908. Demikian pula di kalangan perempuan, banyak organisasi
muncul karena semangat perempuan sebagai pribadi, bukan karena
sebagai istri dari suami atau anak dari bapak yang merupakan tokoh
masyarakat.
Pada masa itu muncul
Putri Mardika, Kautaman Istri, Pawiyatan Wanito, Wanito Hado, Wanito
Susilo, dan sebagainya. Organisasi ini menekankan peningkatan
pendidikan perempuan, serta kehidupan berkeluarga. Pad atahun 1913,
muncul perjuangan pperempuan melaluai media massa, koran bahasa jawa,
Wanito Sworo yang dipimpin Siti Soendari.4
- Aliran-Aliran Gerakan Gender
Gerakan perempuan
tidak pernah mengalami keseragaman di muka bumi ini. Antara satu
negara dan satu budaya dengan negara dan budaya lain, memiliki pola
yang kadang berbeda, bahkan ambivalen. Feminisme sebagai sebuah isme
dalam perjuangan gerakan perempuan juga mengalami interpretasi dan
penekanan yang berbeda di beberapa tempat.
Ide atau gagasan
para feminis yang berbeda di tiap negara ini misalnya tampak
pada
para feminis Itali yang justru memutuskan diri untuk menjadi oposan dari pendefinisian kata feminsime yang berkembang di barat pada umumnya. Mereka tidak terlalu setuju dengan konsep yang mengatakan bahwa dengan membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan di ranah publik, akan berdampak timbulnya kesetaraan. Para feminis Itali lebih banyak menyupayakan pelayanan-pelayanan sosialdan hak-hak perempuan sebagai ibu, istri dan pekerja. Mereka memiliki UDI (Unione DonneItaliane) yang setara dan sebesar NOW (National Organization for Women) di Amerika Serikat. Pola penekanan perjuangan feminis Itali ini mengingatkan kita pada gaya perjuangan perempuan di banom-banom NU di Indonesia.
para feminis Itali yang justru memutuskan diri untuk menjadi oposan dari pendefinisian kata feminsime yang berkembang di barat pada umumnya. Mereka tidak terlalu setuju dengan konsep yang mengatakan bahwa dengan membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan di ranah publik, akan berdampak timbulnya kesetaraan. Para feminis Itali lebih banyak menyupayakan pelayanan-pelayanan sosialdan hak-hak perempuan sebagai ibu, istri dan pekerja. Mereka memiliki UDI (Unione DonneItaliane) yang setara dan sebesar NOW (National Organization for Women) di Amerika Serikat. Pola penekanan perjuangan feminis Itali ini mengingatkan kita pada gaya perjuangan perempuan di banom-banom NU di Indonesia.
Hal yang sedikit
berbeda terjadi di Perancis. Umumnya feminis di sana menolak dijuluki
sebagai feminis. Para perempuan yang tergabung dalam Mouvment de
liberation des femmes ini lebih berbasis pada psikoanalisa dan kritik
sosial. Di Inggris pun tokoh-tokoh seperti Juliat Mitcell dan Ann
Oakley termasuk menentang klaim-klaim biologis yang dilontarkan para
feminis radikal dan liberal yang menjadi tren di tahun 60-an. Bagi
mereka, yang bisa menjadi pemersatu kaum perempuan adalah konstruksi
sosial bukan semata kodrat biologinya.
Di dunia Arab,
istilah feminisme dan feminis tertolak lebih karena faktor image
barat yang melekat pada istilah tersebut. Pejuang feminis di sana
menyiasati masalah ini dengan menggunakan istilah yang lebih Arab
atau Islam seperti Nisa’i atau Nisaism. Meski kemudian definisi
feminisme banyak mengalami pergeseran, namun rata-rata feminis tetap
melihat bahwa setiap konsep, entah itu dari kubu liberal, radikal
maupun sosialis tetap beraliansi secara subordinat terhadap ideologi
politik tertentu.
Dan konflik yang
terjadi di antara feminis itu sendiri sering disebabkan diksi politik
konvensional melawan yang moderat. Misalnya konsep otonomi dari kubu
feminis radikal berkaitan dengan gerakan antikolonial, sementara kubu
feminis liberal menekankan pada pentingnya memperjuangkan kesetaraan
hak-hak perempuan dalam kerangka bermasyarakat dan berpolitik yang
plural. Inilah mengapa feminis selalu bercampur dengan tradisi
politik yang dominan di suatu masa.
Hingga bila
dipilah-pilah berdasarkan tradisi politik yang berkembang, maka
aliran-aliran dalam femninisme dapat dibedakan ke dalam kubu-kubu
sebagai berikut.5
- Feminisme radikal
Feminisme radikal
ini muncul sebagai reaksi atas kultur sex-ism atau diskriminasi
sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 60-an, khususnya
sangat penting dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi. Para
penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara
tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biolagis. Bagi
gerakan feminisme radikal, revolusi terjadi pada setiap perempuan
yang telah mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman dan
hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. Dengan kata lain,
bagi gerakan feminisme radikal, revolusi dan perlawanan atas
penindasan perempuan bisa dalam bentuk yang sangat personal; urusan
subjektif individual perempuan.6
Anggapan ini justru
sangat bertentangan dengan feminisme Marxis yang melihat penindasan
perempuan sebagai realitas objektif. Sungguhpun demikian sumbangn
feminisme radikal ini sangatlah besar pada gerakan perempuan secara
umum, terutama karena paham dan analisis mereka bahwa personal is
political memberikan peluang politik bagi perempuan. Namun, lagi-lagi
golongan ini mengambil bentuk mode perjuangan maskulinitas, yakni
persaingan untuk mengatasi kaum laik-laki.
2. Feminisme liberal
Aliran ini muncul
sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang ada pada umumnya
menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta
kebebasan individu. Namun, pada saat yang sama dianggap
mendiskriminasi kaum perempuan. Asumsi dasar feminisme liberal
berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan
(equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia
privat dan publik.
Feminisme liberal
tidak pernah mempertanyakan diskriminasi akibat ideologi patriarki,
sebagaimana dipersoalkan oleh feminisme radikal maupun analisis satau
struktur kelas politik, ekonomi, serta gender sebagaimana
dipermasalahkan oleh gerakan feminis sosialis. Meskipun gagasan
feminisme ini telah muncul pada abad-19an dan awal abad-20, namun
baru pada tahun 60-an gerakan ini kelihatan menonjol dan akhirnya
mendominasi pemikiran tentang perempuan di seluruh dunia, khususnya
dunia ketiga saat ini.
Salah satu pengaruh
feminisme liberal ini terekspresi dalam teori modernisasi dan progam
global yang dikenal sebagai Wo,en In Development. Sejak awal, bagi
mereka persoalan perempuan dianggap sebagai masalah (anomaly) bagi
perekonomian modern atau partisipasi politik maupun pembangunan.
Menurut mereka, keterbelakangan kaum perempuan selain akibat sikap
mereka yang irrasioanal yang sumbernya karena berpegang teguh pada
nilai-nilai tradisional, juga karena kaum perempuan tidak
berpartisipasi dalam pembangunan.7
Keduanya feminisme
ini lebih mengedepankan klaim-klaim biologis, dan dikenal sebagai
kelompok feminis-ideologis. Adapun tokoh aliran ini antara lain
Margaret Fuller, Harriet Martineuw, Anglina Grimke dan Susan
Anthony8.
- Feminisme Marxis
Kelompok ini menolak
keyakinan kaum feminisme radikal yang menyatakan biologi sebagai
dasar pembedaan gender. Bagi mereka penindasan perempuan adalah
bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Persoalan
perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme.
Bagi penganut feminisme Marxis, penindasan perempuan merupakan
kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural.
Oleh karena itu,
mereka tidak menganggap patriarki atau kaum laki-laki sebagai
permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya
merupakan penyebab masalahnya. Dengan begitu penyelesainnya pun harus
bersifat kultural, yakni hanya dengan melakukan perubahan struktur
kelas dan pemutusan hubungan dangan sistem kapiltalisme
internasional. Perubahan struktur kelas itulah yang mereka sebut
sebagai proses revolusi. Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan di
Rusia dengan menampilkan tokohnya seperti Clara Zetkin dan Rosa
Luxemburg9.
- Feminisme Sosial
Penganut aliran ini,
menurut Jaggar (1983), melakukan sintisesis antara metode historis
materialis Mark dan Eagels dengan gagasan personal
is political
dari kaum feminisme radikal. Feminisme sosial mulai dikenal tahun
1970-an. Aliran ini memiliki ketegangan antara kebutuhan kesadaran
feminisme disatu pihak dan kebutuhan menjaga integritas materialisme
Marxisme di pihak lain, sehingga analisis partiarki perlu ditambahkan
dalam analisis mode of production.
Feminisme sosialisis
juga menganggap bahwa penindasan perempuan bisa melahirkan kesadaran
revolusi, tapi bukan revolusi model perempuan sebagai jenis kelamin
(women as sex) yang diproklamirkan oleh feminisme radikal.10
Feminisme Sosialis
atau feminisme Marxis pada dasarnya sama, yaitu membicarakan tentang
: perempuan lebih dipandang dari sudut teori kelas, sebagai kelas
masyarakat yang tertindas.11
- KESIMPULAN
Setiap perempuan
pasti menginkan bahwa dirinya diperlakukan sama dengan laki-laki.
Dimana akan terjadisebuah keseimbangan antara laki-laki dan
perempuan. Karena adanya sebuah ketidakadilan yang dirasakan oleh
kaum perempuan, menyebabkan para aktifis yang bergerak pada bidang
perempuan menjadi gerah dan melakukan suatu hal yang menyatakan bahwa
mereka ingin agar tidak dipandang sebelah mata oleh kaum laki-laki
maupun duni.
Maka lahirlah
aliran-aliran feminisme, diantaranya adalah feminisme Radikal,
feminisme Liberal, feminisme Marxis, feminisme Sosial. yang mana dari
keempat aliran tersebut mempunyai ciri dan pandangn tersendiri yang
mereka anut.
- PENUTUP
Demikianlah makalah
yang dapat kami sampaikan. Tentunya masih banyak kekurangan. Kritik
dan saran yang membangun sangatlah saya harapkan demi perbaikan ke
depan. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour. Analisis
Gender&Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.
Murniati, A. Nunuk P. Getar
Gender, Magelang:
Indonesia Tera. 2004.
3
A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender, Magelang: Indonesia Tera. 2004.
Hal: 14-16
4
Ibid A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender. Hal: 16
6
Mansour Fakih, Analisis Gender&Transformasi Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996. Hal: 84-86
7
Ibid, Mansour Fakih, Analisis Gender&Transformasi Sosial, hal:
81-83
8
Nassaruddin Umar. Argumen Kesetaraan Gender. Paramadina : Jakarta.
1999. Hal. 65
9
Ibid. Hal 64
10
Ibid, Mansour Fakih, Analisis Gender&Transformasi Sosial, hal:
86-89